Menyingkap "Tabir Misteri" Sisingamangaraja XII
KabarIndonesia -
Profesor Uli Kozok mengatakan, Sisingamangaraja XII memiliki tiga jenis stempel berbeda yang diketahui dari cap yang dibubuhkan pada
surat-suratnya yang ditujukan kepada pemerintah Belanda maupun zending
Kristen I.L. Nomensen.
Menurut Profesor dari University of Hawaii,
Minoa, USA itu; stempel yang digunakan itu sama-sama berasal dari abad
XIX dengan rentang waktu 10 sampai 20 tahun antara satu stempel dengan
stempel lainnya.
"Ini sekaligus membuktikan bahwa Sisingamangaraja
XII telah melakukan tiga kali percobaan dalam pembuatan stempel untuk
berhubungan dengan pihak lain. Stempel yang ketiga bentuknya lebih baik
dan sempurna dari dua stempel sebelumnya," katanya dalam ceramah ilmiah
di Universitas Negeri Medan mengupas tentang misteri surat-surat
Sisingamangaraja XII.
Dikatakan lebih jauh, ada empat surat
Sisingamangaraja XII yang saat ini sedang ditelitinya. Tiga surat
ditujukan kepada zending Kristen I.L. Nomensen dan satu surat ditujukan
kepada pemerintah Hindia Belanda.
I.L. Nomensen sendiri sebenarnya
sangat tidak suka terhadap Sisingamangaraja XII karena sangat menentang
kehadirannya di Tanah Batak. Bahkan, I.L. Nomensen pernah mengatakan
bahwa musuh abadi pemerintah Belanda dan zending Kristen adalah
Sisingamngaraja XII. Nomensen pula yang memanggil tentara Belanda agar
masuk ketanah Batak dengan menggunakan pasukan yang terdiri dari
orang-orang Jawa, Manado dan Maluku.
"Saat ini keempat surat-surat
asli Sisingamangaraja XII tersebut masih tersimpan dengan cukup baik di
Wuppertal Jerman," katanya. Namun uniknya, kata dia, stempel dan
surat-surat Sisingamangaraja XII tersebut bukan menggunakan aksara Batak
asli. Melainkan sudah menggunakan campuran aksara Batak Mandailing
Angkola, Arab Melayu dan huruf Kawi. Lebih lanjut ia mengatakan,
Sisingamangaraja XII sendiri sebenarnya tidak mengenal huruf. Untuk
itulah ia mempekerjakan dua juru tulis dalam persoalan surat-menyurat
yakni Heman Silaban dan Manse Simorangkir.
Kedua juru tulisnya
tersebut merupakan alumni zending I.L. Nomensen yang kemudian berbelok
arah memihak Sisingamangaraja karena tidak lulus dalam ujian untuk
menjadi guru.
Sementara sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) DR Phill Ichwan Azhari, mengatakan; sedikitnya ada lima misteri yang masih perlu diteliti lebih jauh tentang Sisingamangraja XII. Yakni tentang hidupnya, surat-suratnya maupun agamanya.
Sementara sejarawan Universitas Negeri Medan (Unimed) DR Phill Ichwan Azhari, mengatakan; sedikitnya ada lima misteri yang masih perlu diteliti lebih jauh tentang Sisingamangraja XII. Yakni tentang hidupnya, surat-suratnya maupun agamanya.
Bahkan tentang
kematiannya juga masih menjadi misteri. Kalau benar Sisingamangaraja XII
ditembak mati oleh serdadu Belanda yang bernama Christopel, kenapa dia
tidak naik pangkat seperti layaknya pasukan-pasukan Belanda lainnya yang
berhasil mematahkan perlawanan-perlawanan para pahlawan lain dari
daerah lain. "Begitu juga dengan surat-suratnya yang sudah berusia
lebih dari 100 tahun. Tetapi kita tidak mengetahui apa sebenarnya
isinya, " katanya.
Beragama Batak Asli
Profesor Uli Kozok
menambahkan, Raja Sisingamangaraja XII bukan beragama Islam, Kristen
maupun Parmalin. Melainkan beragama Batak asli. "Selama ini banyak
kontroversi yang terjadi di tengah masyarakat tentang agama yang dianut
Sisingamangaraja XII. Ada yang mengatakan dia beragama Kristen, Islam.
Bahkan tidak sedikit yang menyebut beragama Parmalin yang menurut
sebagian orang merupakan agama aslinya orang Batak," katanya.
Ahli sejarah berkebangsaan Jerman itu, menyebutkan, Parmalin bukanlah
agama asli orang Batak. Parmalin merupakan agama kombinasi atau
perpaduan dari agama Islam dan Kristen. Ketika agama Parmalin
berkembang di Tanah Batak, Sisingamangaraja XII sendiri sudah berada di
Dairi dalam pengungsian menghindari serbuan-serbuan dari tentara
Belanda. "Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya
jauh lebih tua dari agama Parmalin," katanya.
Mengenai bukti-bukti
otentik yang ditunjukkan dalam stempel Sisingamangaraja XII yang
menggunakan aksara campuran Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan
Kawi juga tidak membuktikan bahwa ia telah memeluk agama Islam.
Sebagai
seorang yang mengklaim dirinya penguasa di Tanah Batak, sudah
selayaknya Sisingamangaraja XII memiliki sebuah stempel sebagai lambang
kebesarannya dan wajar saja jika dia menggunakan aksara Arab Melayu
dalam stempelnya kerena saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa
pengantar di Sumatera.
TITIK TEMU KULTUR ISLAM DENGAN UGAMO PARMALIM
Waspada Online
Ugamo Parmalim menjadi kepercayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanulang ada desa bernama Kampung Mudik sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah disebut Parsaktian.
Ugamo Parmalim menjadi kepercayaan asli etnis Batak, hingga kini masih eksis. Bahkan, di Kecamatan Barus sendiri, seperti penuturan Zuardi Mustafa Simanulang ada desa bernama Kampung Mudik sebagian warganya masih menganut kepercayaan asli itu. Bahkan, penganut Parmalim di sana punya rumah ibadah disebut Parsaktian.
Kepercayaan asli etnis Batak itu,
menurut Ustadz Djamaluddin sangat dekat hubungannya dengan tradisi dan
simbol-simbol agama Samawi, khususnya Islam.
Menurut dia, Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Dikatakan, saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan.
Menurut dia, Parmalim itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis Batak. Dikatakan, saat ini penganut kepercayaan Parmalim memiliki 360 orang dukun yang berfungsi sebagai pembawa upacara keagamaan.
Dari 360 dukun itu, separuh di antaranya (180 orang) menggunakan bacaan
pembuka dan penutup mantra (tabas) dengan ucapan mirip bacaan Islam dan
Yahudi (Hebrew).
Pembukaan mantra itu kira-kira; "Binsumillah dirakoman dirakomin" dan penutupnya "Yasa Yasu Yausa" Sedangkan separuh di antaranya menggunakan pembuka dan penutup tabas dengan bahasa mirip ucapan Islam. Untuk pembukaan: "Bismillahirrahmanirrahiem" dan penutupnya; "Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau "Borkat Kobul Baginda Saidina Ali."
Berdasarkan fakta itu, Ustadz Djamaluddin Batubara berkeyakinan, ada hubungan antara Parmalim dengan agama-agama Samawi. Menurut dia, Al Qur'an ada menyebutkan kepercayaan monotheisme Ibrahim dikenal dengan "millah (ta) Ibrahim."
Pembukaan mantra itu kira-kira; "Binsumillah dirakoman dirakomin" dan penutupnya "Yasa Yasu Yausa" Sedangkan separuh di antaranya menggunakan pembuka dan penutup tabas dengan bahasa mirip ucapan Islam. Untuk pembukaan: "Bismillahirrahmanirrahiem" dan penutupnya; "Borkat Kobul Lailaha Illallah" atau "Borkat Kobul Baginda Saidina Ali."
Berdasarkan fakta itu, Ustadz Djamaluddin Batubara berkeyakinan, ada hubungan antara Parmalim dengan agama-agama Samawi. Menurut dia, Al Qur'an ada menyebutkan kepercayaan monotheisme Ibrahim dikenal dengan "millah (ta) Ibrahim."
Lalu, jika dihubungkan cerita
tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-rempah
pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah tentang Raja
(Nabi) Sulaiman membutuhkan rempah-rempah dari Ophir (Barus),
diperkirakan kala itulah keyakinan monotheisme terserap dan kemudian
mengakar dalam keyakinan etnis Batak.
Selain itu, dalam sejarah asal Keturunan Raja Barus, disebutkan pula raja I etnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I sekira tahun 1550 M sudah memeluk agama Islam dan mengembangkannya hingga ke Aceh dan Minangkabau. Sisingamangaraja I sendiri merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.
Selain itu, dalam sejarah asal Keturunan Raja Barus, disebutkan pula raja I etnis Batak bernama Raja Makoeta atau Raja Manghuttal bergelar Sisingamangaraja I sekira tahun 1550 M sudah memeluk agama Islam dan mengembangkannya hingga ke Aceh dan Minangkabau. Sisingamangaraja I sendiri merupakan kemenakan Raja Uti, penguasa Barus. Raja Makoeta merupakan panglima Raja Uti ketika melawan Portugis yang hendak menguasai Barus.
Dalam sejarahnya kemudian Sisingamangaraja I itu mendirikan kerajaan
baru berpusat di Bakkara. Kata 'Bakkara' sendiri diambil dari salah satu
surah di Al Qur'an, yakni Surah Al Baqarah (Lembu Betina). Hal itu
dikarenakan daerah jadi pusat kerajaan Sisingamangaraja I merupakan
dataran banyak lembunya. Diceritakan pula, antara Barus dan Bakkara
terjadi hubungan persahabatan yang erat. Itu ditandai dengan dibuatnya
jalan menghubungkan kedua kerajaan itu.
Sisingamangaraja I dalam
memerintah rakyatnya, berpedoman pada sejumlah pegangan spiritual
bernuansa monotheistis. Misalnya, menyucikan diri, tidak memakan darah
dan daging yang tidak disembelih (mate garam). Tidak menenggak
minuman yang memabukkan. Mendirikan rumah ibadah tempat berdoa kepada
Tuhan YME. Menghapuskan perbudakan, mencintai kebersihan, kesehatan dan
menganjurkan penduduk membuat sumber air (sumur) untuk kelompok warga.
Mengutamakan musyawarah (syura) dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, umum sudah diketahui penanggalan Raja Batak sejak awal telah menggunakan penanggalan Islam, yakni Hijriah. Itu terlihat dari cap kerajaan para penguasa Batak, misalnya cap Sisingamangaraja XII bertuliskan Arab/Melayu dengan penanggalan tahun 1304 Hijratun Nabi. Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak, cenderung mendekati simbol-simbol ke-Islaman. Misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan.
Berbagai peraturan dibuat Sisingamangaraja I menjadi pedoman kehidupan bagi etnis Batak di kemudian hari juga bernuansa monotheistis. Sayangnya, pedoman itu kemudian tidak berlanjut, karena ketiadaan penganjur Islam (pendakwah) dekat dengan kerajaan Batak sepeninggal Raja Uti. Islam Tauhid (monotheis) itulah di kemudian hari dikenal sebagai kepercayaan Parmalim, tutur Ustadz Djamaluddin Batubara.
Perebutan Eksistensi
Sayangnya kepercayaan asli etnis Batak itu, belakangan kian menyusut dan kehilangan eksistensinya. Pasca menyebarnya Protestantisme dibawa Dr. I.L Nomensen ke Tano Batak, Parmalim menghadapi tekanan keras. Watak ekspansionisme Protestan, ternyata tidak memberikan peluang kepada kepercayaan asli itu untuk tetap hidup dalam keberagaman keyakinan. Akibatnya, Parmalim menjadi keyakinan yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.
Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak beragama Kristen Protestan/Katholik meyakini konsep Trinitas.
Selain itu, umum sudah diketahui penanggalan Raja Batak sejak awal telah menggunakan penanggalan Islam, yakni Hijriah. Itu terlihat dari cap kerajaan para penguasa Batak, misalnya cap Sisingamangaraja XII bertuliskan Arab/Melayu dengan penanggalan tahun 1304 Hijratun Nabi. Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan Batak, cenderung mendekati simbol-simbol ke-Islaman. Misalnya, tongkat, pedang, sorban berwarna putih serta stempel kerajaan.
Berbagai peraturan dibuat Sisingamangaraja I menjadi pedoman kehidupan bagi etnis Batak di kemudian hari juga bernuansa monotheistis. Sayangnya, pedoman itu kemudian tidak berlanjut, karena ketiadaan penganjur Islam (pendakwah) dekat dengan kerajaan Batak sepeninggal Raja Uti. Islam Tauhid (monotheis) itulah di kemudian hari dikenal sebagai kepercayaan Parmalim, tutur Ustadz Djamaluddin Batubara.
Perebutan Eksistensi
Sayangnya kepercayaan asli etnis Batak itu, belakangan kian menyusut dan kehilangan eksistensinya. Pasca menyebarnya Protestantisme dibawa Dr. I.L Nomensen ke Tano Batak, Parmalim menghadapi tekanan keras. Watak ekspansionisme Protestan, ternyata tidak memberikan peluang kepada kepercayaan asli itu untuk tetap hidup dalam keberagaman keyakinan. Akibatnya, Parmalim menjadi keyakinan yang terasing di tanah kelahirannya sendiri.
Ada beberapa alasan kenapa Parmalim harus menghadapi tekanan keras yang membuat kepercayaan asli itu kian meredup. Pertama, keyakinan monotheisme Parmalim sangat bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas etnis Batak beragama Kristen Protestan/Katholik meyakini konsep Trinitas.
Kedua, sinkretisme simbol-simbol
Parmalim-Islam mengganggu missi untuk menjadikan Tano Batak sebagai
wilayah Judea di Andalas. Artinya, klaim bahwa etnis Batak sama dengan
orang Kristen masih bisa dianulir.
Berbeda dengan orang Minang, Aceh dan Melayu yang bisa mengklaim dirinya sama dengan orang Islam. Ketiga, kebijakan pemerintah dan agama-agama dominatif mengabaikan, bahkan berniat melenyapkan eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.
Sebagai sebuah warisan spiritual masa lalu di negeri ini, Ugamo Parmalim seharusnya tidak bisa dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada belakangan sebagai sempalan agama-agama dominatif (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu). Hal itu dikarenakan Parmalim memang dilahirkan dari rahim keyakinan masa lalu nenek moyang bangsa, keberadaannya jauh lebih terdahulu dibanding agama-agama resmi yang ada. Akan bijaksana jika political will pemerintah, khususnya Pemprov Sumatera Utara memberikan perlindungan atas keberadaan Ugamo Parmalim itu.
Berbeda dengan orang Minang, Aceh dan Melayu yang bisa mengklaim dirinya sama dengan orang Islam. Ketiga, kebijakan pemerintah dan agama-agama dominatif mengabaikan, bahkan berniat melenyapkan eksistensi berbagai aliran kepercayaan yang ada, menyebabkan Parmalim dan kepercayaan lainnya terpinggirkan.
Sebagai sebuah warisan spiritual masa lalu di negeri ini, Ugamo Parmalim seharusnya tidak bisa dipandang sama dengan aliran-aliran kepercayaan yang ada belakangan sebagai sempalan agama-agama dominatif (Islam, Kristen, Budha, Hindu dan Kong Hu Chu). Hal itu dikarenakan Parmalim memang dilahirkan dari rahim keyakinan masa lalu nenek moyang bangsa, keberadaannya jauh lebih terdahulu dibanding agama-agama resmi yang ada. Akan bijaksana jika political will pemerintah, khususnya Pemprov Sumatera Utara memberikan perlindungan atas keberadaan Ugamo Parmalim itu.
Seminar
tentang Perjuangan Sisingamangaraja XII yang berlangsung Akhir Mei 2007
lalu di Medan, setidaknya bisa menjadi langkah awal yang baik untuk
memberikan ruang lebih terbuka kepada Parmalim menunjukkan eksistensinya
di tengah pergaulan antar agama.
Sebaliknya, kasus penolakan
masyarakat sekitar terhadap pendirian Parsaktian di Jalan Air Bersih,
Medan , beberapa waktu lalu, patut dipandang sebagai upaya tidak
memberikan ruang toleransi kepada kepercayaan asli etnis Batak itu. Semestinya
toleransi beragama diberikan kepada semua keyakinan, agar tidak muncul
prasangka toleransi beragama cuma lip servis digunakan untuk
kepentingan sempit agamaagama tertentu.
*Abdul Khalik
Dipaksakan banget, padahal udah jelas muslim, lihat aja jenggotnya, khas Muslim, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, bukan sunnah Nabi2 sebelumnya. Memang tujuan orientalis menghilangkan jejak Islam di tanah Batak. Untuk memecah kekuatan Islam di Aceh dan Sumatera Barat. Ada2 aja.
BalasHapus?????
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusyang pertama komen orang yang gak ada kedekatan sama sekali atau sedikitpun keturunan dari Sisingamangaraja sudah berani mengatakan sudah "JELAS", dan mengambil kesimpulan sendiri
BalasHapushttps://www.google.com/+benobakara
Klaim tanpa bukti.hehehe
BalasHapusKlaim tanpa bukti.hehehe
BalasHapus