Terdapat lebih dari 20 prasasti Adityawarman, yang tersebar di berbagai tempat. Sebagian besar masih berada di Sumatra Barat. Namun belum adanya kajian komprehensif yang memuaskan mengangkat prasasti-prasasti Adityawarman membuat Prof. Arlo Griffiths tergerak membaca ulang serta menafsir prasasti itu.
"Menurut seorang pakar epigrafi Indonesia Profesor J.G. de Casparis,
ada sejumlah edisi (mengenai prasasti) Adityawarman yang pernah
diterbitkan oleh Kern, tapi sudah lebih dari seabad lalu," ujar peneliti
dari institusi French School of Asian Studies (EFEO) Jakarta tersebut.
Ia pun memaparkan soal penelitiannya "Napak Tilas Adityawarman:
Penelitian Epigrafis antara Jawa Timur-Sumatra Barat" yang tengah
dilakukan sejak kurun empat tahun terakhir, pada kuliah umum di Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Kamis (19/4) siang. Ahli
epigrafi Dr. Ninie Susanti turut hadir sebagai moderator diskusi ini.
Candi Jago. (Aryasatya/Fotokita.net) |
Terdapat lebih dari 20 prasasti Adityawarman, yang tersebar di
berbagai tempat. Seperti dijelaskan oleh Prof. Arlo yang juga Profesor
Adjunct di Departemen Arkeologi FIPB UI, sebagian besar masih berada di
lokasi asli yakni di berbagai wilayah di Sumatra Barat terutama di
Kabupaten Tanah Datar, ada yang sudah dibawa ke Museum Nasional Jakarta,
dan satu lain yang masuk koleksi Museum Hermitage di St. Petersburg,
Rusia.
Meski penelitian ini belum tuntas, kesimpulan yang sudah didapatkan
sejauh ini menunjukkan beberapa prasasti tidak mendukung gambaran atau
silsilah Adityawarman dalam sejumlah sumber rujukan.
Dalam rujukan Sejarah Nasional Indonesia atau SNI edisi
pemutakhiran 2008 misalnya, disebutkan beberapa hal mengenai
Adityawarman: ia merupakan putra Majapahit keturunan Malayu, penerus
Kerajaan Malayu, serta memeluk agama Budha beraliran Kalacakra.
Salah satu sumber prasasti yang dibaca untuk menyimpulkannya adalah
prasasti yang terpahat pada arca Manjusri berangka tahun 1341, di Candi
Jago. Dalam SNI dikatakan, bahwa di dalam prasasti ini Adityawarman
bersama-sama Gajah Mada telah menaklukkan Pulau Bali.
"Asumsi dasar adalah, Adityawarman meneruskan Kerajaan Malayu Kuno.
Namun, sejauh ini penelitian saya belum menemukan bukti nyata
Adityawarman menganggap diri sebagai penerus Kerajaan Malayu. Dan di
prasasti di Candi Jago, ternyata tidak ada pula disebut Gajah Mada atau
Bali sama sekali," ujar Prof. Arlo.
Begitu pun dengan tentang kejelasan apakah Adityawarman ialah
keturunan Jawa atau Sumatra. Serta kaitan ke Kerajaan Majapahit, masih
belum terbukti sampai saat ini.
Menurut Prof. Arlo, dalam penelitian sebelumnya, fantasi membuat
metode dan objektivikasi ilmiah dalam interpretasi cenderung terabaikan
dalam interpretasi. Contoh lain ditemukan di suatu hasil penelitian
Casparis, yang pernah merencanakan kumpulan prasasti Adityawarman, namun
tidak sempat menyelesaikannya sebelum meninggal.
"Berdasarkan bacaan ‘fantasi’ dari sebuah prasasti yang sudah sangat
aus, disertakan salah tafsir candra sengkala dalam prasasti tersebut, ia
berhasil menemukan seorang raja, Akarendrawarman, sebagai pendahulu
Adityawarman. Padahal prasasti Ponggongan II ini tidak menyebut sama
sekali nama Akarandrawarman, dan ternyata berangka tahun pada zaman
pemerintahan Adityawarman sendiri. Sehingga silsilah Adityawarman harus
dikaji kembali. Begitu juga dengan sub-aliran agama Budha yang dianut
Adityawarman: bukan Kalacakra namun Hewajra," katanya lagi.
Dr. Ninie sependapat menambahkan, "Kita memang harus berhati-hati
terhadap data epigrafi ataupun sejarah kuno. Hal ini membuat penelitian
ulang di arkeologi pun selalu terbuka dan wajar dilakukan."
Penelitian ini sekaligus juga kerja sama antara EFEO dengan Puslit
Arkeologi Nasional (Arkenas) sehubungan mendaftar seluruh prasasti di
Indonesia dan negara tetangga di Asia Tenggara kepulauan.
(Gloria Samantha)
(Gloria Samantha)
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Prok - prok - prok... "Apa Komentar Anda?"