Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Pelestarian Hutan
Agarwood |
Sudah gaharu, cendana pula! Sudah tahu, bertanya pula!
Peribahasa tersebut sangat sering kita dengar sehari-hari. Akan tetapi
tidak banyak dari kita yang tahu apakah gaharu tersebut dan darimana ia
dihasilkan. Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatik (aromatic resin)
yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai
kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya
gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat
menghasilkan substansi aromatik ini.
Jenis-jenis pohon yang biasanya menghasilkan gaharu adalah pohon-pohon yang termasuk famili Thymelaeaceae yakni Gonystyloidae (antara lain Gonystylus spp.), Aquilarioideae (Aquilaria spp.), Thymelaeoidae (Enklea spp, serta Wikstroemia spp.), dan Gilgiodaphnoidae. Bahkan ada ahli yang berpendapat bahwa jenis Dalbergia parvifolia (famili Leguminoceae) dan Excoccaria agolocha (Euphorbiaceae) juga dapat menghasilkan gaharu. Akan tetapi jenis yang diketahui memiliki potensi penghasil gaharu tertinggi adalah Aquilaria malaccensis atau dikenal dengan nama daerah Karas, Alim, Garu, Kompe dan lain-lain.
Penyebaran alami marga Aquilaria sangat luas mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial) yang terdapat hampir di seluruh Nusantara, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi seiring dengan maraknya illegal logging dan
perburuan gaharu, pohon penghasil gaharu saat ini sangat jarang ditemui
di hutan bahkan telah termasuk jenis yang hampir punah oleh CITES.
HHBK Andalan
Gaharu
dikenal karena memiliki aroma yang khas sehingga digunakan untuk
berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, obat, dan
sebagainya. Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal lama.
Saat ini, harga gaharu kualitas super dapat mencapai Rp 5 juta per
kilogram, bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna
akhir. Di tingkat pengumpul di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai
Rp. 600.000,- per kg.
Kontribusi
gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus
meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun
1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat
menjadi US $ 2,2 juta. Namun sejak 2000 sampai akhir 2002, ekspor
menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan ini
disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan.
Mempertimbangkan
harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan hasil hutan lainnya,
gaharu dapat dikembangkan sebagai salah satu komoditi hasil hutan bukan
kayu (HHBK) andalan alternatif untuk penyumbang devisa sektor kehutanan
selain dari hasil hutan kayu.
Budidaya Gaharu : Peningkatan Kelestarian Hutan
Nilai
jual gaharu yang tinggi ini seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk
membudidayakannya. Selama ini gaharu yang dipanen umumnya berasal dari
pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan. Jika dahulu masih terdapat
kearifan tradisional dimana untuk menjamin kelestarian pohon induknya,
hanya bagian yang mengandung gaharunya saja yang ditoreh tanpa menebang
pohonnya, saat ini pemanenan dilakukan dengan langsung menebang
pohonnya. Akibatnya semakin sedikit pohon-pohon induk gaharu yang terdapat di alam.
Walaupun
tidak seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh ini upaya
peremajaan dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Bukan tidak ada
penelitian yang menunjukkan besarnya peluang pengembanganya, akan tetapi
akibat lemahnya publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil penelitian
tersebut menyebabkan usaha pengembangan gaharu sangat jauh tertinggal
dibandingkan jenis pohon lainnya, misalnya, jati emas atau jati super
yang didengung-dengungkan akan memberikan nilai ekonomi yang cukup besar
sehingga penanaman jenis ini mewabah di mana-mana, walaupun kemudian
penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.
Penelitian
Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan bahwa gaharu
yang timbul disebabkan oleh terjadinya infeksi yang dialami pohon gaharu
tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab proses infeksi, yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium., (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka pada pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan menghasilkan gaharu.
Penanaman
dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan sistem monokultur, tetapi
lebih disarankan dibawah tegakan seperti Sengon, Petai, Gamal, dan
Mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun campuran. Pohon gaharu
umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5 – 700 mdpl dengan
curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10
cm (kira-kira pada umur 5 tahun), proses inokulasi dapat dilakukan
dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2) menyuntikkan
mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan oli dan gula
merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam batang
tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan
penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning
dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan
mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan.
Gaharu dapat dipanen 3 – 4 tahun kemudian.
Jumlah
produksi gubal gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon dan
tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Dengan jarak tanam 3 x
3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton
gaharu/ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya
kualitas rendah dengan harga Rp 250 - 300 ribu per kilo maka akan
diperoleh pendapatan Rp 550 - 660 juta per ha. Bagaimana jika dihasilkan
tersebut gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu pada pedagang
pengumpul ? Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha lebih kurang
10 tahun.
Terdapat
berbagai pilihan untuk menggalakkan budidaya gaharu, antara lain
melalui (1) program hutan rakyat gaharu, dan (2) program hutan
kemasyarakatan. Dalam program hutan rakyat, masyarakat diharapkan secara
swadaya melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada
lahan kosong (tidak produktif). Agar masyarakat mau menanam
gaharu, selain informasi tentang peluang dan teknik pengembangan
gaharu, masyarakat juga harus diberikan insentif, seperti pengadaan
bibit dan inokulasi mikroorganisme penyebab gaharu. Pengadaan bibit dan
inokulasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang kemudian disalurkan
kepada petani secara cuma-cuma atau dengan kredit. Dalam prakteknya pengembangan hutan rakyat gaharu ini dapat dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan.
Sedangkan penggalakan program hutan kemasyarakatan didasarkan pada paradigma pembangunan kehutanan community based development yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam
sistem hutan kemasyarakatan, masyarakat diperbolehkan menanam gaharu
bersama-sama dengan tanaman pertanian dan kehutanan lainnya pada lahan
hutan, salah satunya dengan sistem agroforestry.
Berbagai
praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak
ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan
kelestarian sumberdaya hutan dan lahan disisi lain. Selain memperoleh
kesejahteraan dari tanaman gaharu dan tanaman kehutanan, masyarakat juga
dapat memanfaatkan lahan diantara tanaman tersebut untuk tanaman
semusim. Teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap
produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan
bahan organik serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat
menekan laju erosi tanah sehingga juga cocok untuk menanggulangi lahan
kritis.
Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu ini akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan
perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan
setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya. Tentu saja agar
program penanaman gaharu ini berhasil perlu didukung dengan kelembagaan
dan peraturan yang jelas, serta dukungan semua pihak. Jadi mengapa kita tidak tanam gaharu? ***
Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli, Tahun 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Prok - prok - prok... "Apa Komentar Anda?"