SEBAGAI
masyarakat ilmiah, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) berpe-ran dalam
pembangunan di segala bidang yang berhubungan dengan geologi di
Indonesia. Kajian-kajian ilmiah yang dikemukakan para pakar geologi
telah ikut memajukan perkembangan pendayagunaan aspek geologi dalam
pembangunan nasional yang notabene untuk kesejahteraan
masyarakat. Bagi masyarakat umum, bisa jadi kiprah yang dilakukan IAGI
tidak secara langsung dapat dirasakan manfaatnya, karena fungsi yang
dijalankan IAGI adalah lebih kepada pengembangan keprofesian bidang
geologi.
Geologi, apa itu?
Biasanya
kata geologi sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tanah dan
batu-batuan. Secara lebih lengkap, geologi adalah ilmu yang mempelajari
Bumi dalam hal mulajadi, struktur, komposisi, sejarah perkembangannya
dan proses-proses yang berlangsung di dalam dan di permukaannya,
sehingga Bumi mencapai bentuknya yang sekarang.
“Benda
geologi” yang paling sering diamati adalah yang sehari-hari kita sebut
sebagai batu atau batuan. Melalui penyelidikan batuan yang dilakukan
dengan berbagai cara dan peralatan, maka diketahuilah berbagai gejala
alam, seperti gempa bumi, letusan gunung api, pembentukan mineral,
minyak dan gas bumi, dan peristiwa alam lainnya.
Sederhananya,
Bumi selain menyimpan kandungan sumber daya alam, Bumi pun memiliki
potensi kebencanaan. Begitu pula Kepulauan Indonesia yang terbentuk
sejak jutaan tahun yang lalu adalah wilayah yang secara geologis selain
menyimpan berbagai sumber daya mi-neral dan energi juga merupakan
wilayah yang berpotensi sekaligus rawan bencana, antara lain gempa bumi,
tsunami, letusan gunung api, banjir dan tanah longsor.
Banjir dan tanah longsor
Di
antara bentuk bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia
adalah banjir dan tanah longsor. Peristiwa banjir dan tanah longsor,
apakah murni sebagai fenomena alam atau karena ada campur tangan
manusia, memang bisa menjadi perdebatan panjang. Banjir dan tanah
longsor adalah persoalan yang selalu membuntuti kita sepanjang tahun,
khususnya pada satu dekade terakhir ini. Di musim hujan, banyak daerah
di Indonesia yang dilanda banjir dan tanah longsor, sebaliknya di musim
ke-ring banyak orang berteriak kekurangan air.
Menurut
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi (Bakornas PBP), bencana alam yang berkaitan dengan kebumian
pada periode 1998 hingga Mei 2004 telah merenggut korban jiwa sebanyak
2232 orang. Dari jumlah korban tersebut yang paling banyak adalah akibat
bencana banjir (1.117 orang) dengan jumlah kejadian sebanyak 379 kali.
Korban berikutnya adalah akibat dari bencana tanah longsor (765 orang;
288 kejadian).
Sedangkan
korban akibat bencana gempa bumi mencapai 350 orang dengan 52 kali
kejadian, serta dari bencana gunung api adalah dua orang di antara 17
kali kejadian. Sementara itu, penanggulangan bencana di Indonesia lebih
banyak pada upaya tanggap darurat di setiap kejadian pascabencana.
Menyadari hal ini, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh pengetahuan
tentang fenomena alam yang dapat menimbulkan bencana itu, sebagai upaya
mengantisipasi bencana.
Mengenal lebih dekat
Menyimak
bencana alam akibat kejadian banjir dan tanah longsor, atau bencana
alam lainnya, kita patut berpikir, mengapa muncul bencana alam?
Bagaimana sesungguhnya fenomena alam itu terjadi? Dengan mencoba
mengenal Bumi lebih dekat, kita akan melihat Bumi selain mengandung
bahan-bahan sumber daya mineral dan energi yang kita butuhkan, Bumi pun
harus dicermati karena ia menyimpan potensi kebencanaan. Dan sudah
selayaknya masyarakat umum termasuk anak-anak diperkenalkan dengan
pengetahuan dasar ilmu kebumian.
Sebagai
contoh, untuk lebih mengembangkan kreativitas anak-anak, kita dapat
mengajaknya melakukan percobaan tentang peristiwa erosi tanah. Material
yang dibutuhkan adalah sebuah kaleng biskuit yang dipotong diagonal
menjadi dua bagian dan ke dalam rongganya diisi tanah hingga membentuk
lereng. Salah satu lereng itu kita tanami dengan rumput. Setelah rumput
tumbuh subur kemudian lakukan percobaan berikut ini. Hujani kedua lereng
itu dengan air mancur dari air yang diisi pada kaleng susu yang
dilubangi.
Apa
yang terjadi? Lereng yang mana yang mudah tererosi? Lumpur dan air pada
lereng yang mana yang mudah menggelontor ke bawah? Silakan anak-anak
memperoleh kesempatan untuk mengamati dan menyimpulkannya. Dengan
melakukan percobaan semacam ini, diharapkan anak-anak dapat meresapinya,
bagaimana peristiwa erosi terjadi, terutama pada kejadian sesungguhnya
di alam.
Berbagai
kegiatan yang pada intinya mengenal bumi lebih dekat, baik yang
berhubungan dengan geologi maupun ilmu hayati, bukan tidak ada yang
melakukannya. Lihat saja misalnya, aktivitas sekolah yang berorientasi
ke alam (Sekolah Alam), kegiatan ecoschool yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa di ITB bagi siswa SMP, klub Bicons (Bird Conservation Society)
Mahasiswa Biologi Unpad, pendidikan tentang Gunung Merapi oleh Pusat
Studi Bencana UPN-Veteran Yogyakarta bagi masyarakat sekitar Gunung
Merapi, dan yang lainnya, termasuk kegiatan sosialisasi geologi yang
dilaksanakan IAGI.
Di mana mengamatinya?
Kita juga dapat mengamati Bumi di hotel, di mal, di gedung-gedung pertokoan atau di gedung perkantoran. Lho, kok?
Benar. kita dapat mempelajari tekstur dan mineral penyusun batuan
granit pada permukaan dinding atau lantai gra-nit di sebuah hotel atau
mal yang berkaitan dengan geologi. Dari tekstur dan susunan mine-ral
itulah dapat diketahui, bagaimana batuan itu terbentuk. Kita juga bisa
mengamati fosil foraminifera, koral atau algae pada
batu gam-ping yang ditempel di dinding dan lantai gedung pertokoan,
gedung perkantoran atau rumah sendiri. Kita dapat mengetahui tentang
lingkungan laut di mana batuan itu terbentuk dahulu kala berdasarkan
fosil-fosil itu.
Untuk
mengamati Bumi secara lebih lengkap dan sistematik, kita bisa
mengunjungi Museum Geologi di Bandung. Di museum ini kita dapat belajar
mengenali kehidupan prasejarah, proses gunung api, cara terbentuknya
mineral, minyak bumi, juga benda dan peralatan yang kita pakai
sehari-hari, yang tidak pernah dikira barang-barang itu berasal dari
bahan dan mineral dari perut Bumi. Kita dapat pula mengajak anak-anak
mengamati Bumi secara langsung di alam, atau seraya berekreasi ke
tempat-tempat wisata alam seperti Gunung Merapi, Gunung Tangkuban
Perahu, tempat wisata air panas Ciater, dan di tempat yang lain.
Untuk
mengenal Bumi dapat dimulai dengan mengenal batuan, dan itu bisa
dilakukan dengan cara yang menyenangkan. Salah satu tempat menyaksikan
bermacam batuan bermunculan isi perut Bumi ke permukaan adalah daerah
Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Di sana anak-anak dapat menikmati
mengumpulkan kerikil berbagai macam batuan pembentuk Bumi yang
berserakan di Sungai Luk Ulo, atau bahkan mereka bisa menjejakkan kaki
di atas batuan lantai samudra purba.
Peran IAGI
Tujuan
dari memperkenalkan Bumi lebih dekat kepada masyarakat umum adalah
memberi pemahaman. Bumi selain sebagai tempat memperoleh sumber daya
alam untuk kehidupan, Bumi pun bisa memunculkan bencana. Selain itu,
eksploitasi sumber daya alam tanpa didukung dengan kaidah-kaidah
pengelolaan berkelanjutan dan kelestarian alam hanya akan merusak
keseimbangan tatanan alam.
Pentingnya
menjaga kelestarian Bumi dalam skala regional dapat dimulai dengan
tindakan memahami lingkungan yang menyentuh persoalan-persoalan dari
skala lokal, yaitu dari skala hunian manusia. Khusus kepada anak-anak,
pengenalan ini dinilai tepat sasaran, karena pemahaman tentang alam
sejak usia dini diprediksi akan lebih memberi ingatan tentang alam yang
akan melekat hingga mereka besar nanti.
IAGI
sebagai salah satu asosiasi profesi bidang kebumian memiliki peran
besar untuk menyebarluaskan keahliannya kepada masyarakat umum. Agar
kiprah IAGI terasa lebih membumi, IAGI perlu meningkatkan porsi kegiatan
sosialisasi geologi dalam dua arah. Kepada pemerintah, IAGI bisa
mengusulkan tentang materi-materi ilmu kebumian ke dalam kurikulum
pendidikan dasar dan menengah. Sementara bagi masyarakat umum, IAGI
melalui anggota-anggotanya dapat turun langsung atau melalui media masa
secara simultan dan terprogram menyosialisasikan geologi.
Kita
semua tentu berharap agar tidak terjadi kesenjangan antara (meriahnya)
aktivitas IAGI dengan (dinginnya) pemahaman masyarakat Indonesia akan
peran IAGI dan arti penting geologi untuk kehidupan.***
Dr.Ir. Munasri,
Anggota IAGI. Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Prok - prok - prok... "Apa Komentar Anda?"