Pada zaman dahulu, ada satu desa yang terletak di kaki Gunung Sinabung. Penduduk desa tersebut hidup berdampingan dan saling menolong dalam segala hal. Mata pencaharian penduduk desa sebagian besar bertani.
Pada suatu hari, Pak Tungkir akan menanami ladangnya. Pagi-pagi sekali, bapak dan ibu Tungkir serta si Tungkir serta si Tungkir sudah berangkat ke ladang, sedangkan di rumah hanya nenek si Tungkir yang sudah sudah uzur.
Pekerjaan menanam padi pun segera dimulai. Ketika orang¬orang sedang bekerja di ladang, ibu Tungkir memasak di dangau.
Pekerjaan di ladang dan memasak pun selesai berbarengan. Menjelang siang, mereka sudah siap untuk makan. Sebelum acara makan dimulai, Ibu si Tungkir membungkus nasi dan lauknya, untuk nenek si Tungkir. Kemudian, ia menyeru anaknya, “Tungkir, mari sini dulu! ” panggil ibu si Tungkir.
“Ada apa, Bu ?” Tungkir bertanya.
“Kau antarkan nasi dan lauknya ini! Ingat, nasi dan lauknya ini untuk nenekmu!” perintah ibu si Tungkir. “Baik, Bu!” jawab si Tungkir. Si Tungkir bergegas berangkat. Di tengah jalan Si Tungkir merasa kelelahan, ia pun beristirahat. Namun, si Tungkir mulai tergoda untuk membuka bungkus nasi itu.
“Wah… enaknya!” Bisik hati si Tungkir. Air liurnya sampai menetes.
Singkat cerita, si Tungkir hampir menghabiskan makanan untuk neneknya itu. Lalu si Tungkir berlari menuju rumahnya. Setibanya di rumah, si Tungkir berteriak, “Nek! I ni nasi dan lauk untuk Nenek. Ibu yang menyuruhku, makanlah Nek!” Si nenek tidak segera membuka makanan itu. Sementara itu, si Tungkir kembali ke ladang. Setibanya di ladang, ia segera melapor kepada ibunya.
“Sudah Bu…!” lapor Tungkir kepada ibunya. “Jadi, nenekmu sudah makan tadi?” tanya ibunya.
“Sudah Bu… Lahap sekali nenek makan,” kata si Tungkir meyakinkan ibunya.
Tetapi ia tidak menceritakan semua kebenaran itu. Bapak dan ibunya pun percaya saja. Setelah makan, mereka melanjutkan kembali bekerja di ladang.
Sementara itu, nenek si Tungkir membuka bungkusan yang diserahkan cucunya. Namun setelah dibuka, ia terkejut karena mendapatkan sisa nasi dan tulang-tulang ayam. Alangkah sedih hati si nenek. la pun berkata sendiri, “Oh… seperti inikah makanan untukku? Alangkah tega menantu ku,” keluh si nenek. Selanjutnya, si nenek menancapkan tulang-tulang ayam itu ke tanah dan berdoa. Kemudian dicabutnya tulang-tulang ayam tadi, ditaburlah nasi sekepal. Dengan kekuasaan Tuhan, tiap butir nasi yang jatuh ke tanah memercikkan air. Semakin lama air semakin membesar, hingga membenamkan seluruh desa termasuk si nenek, anak, menantu, dan cucunya si Tungkir. Tidak lama kemudian, terbentanglah sebuah danau yang sangat luas.
Sebagian penduduk desa yang selamat berusaha mengambil barang-barang yang terapung di atas air dengan galah panjang sambil berseru, “Ayolah! lyah Nake, Ikawarimin, ikawariyah.” Mereka memainkan galah (kawar-kawari) sehingga danau itu dinamakan Danau.
gambar : nanginuda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Prok - prok - prok... "Apa Komentar Anda?"